Jumat, 21 April 2023

Assalamu’alaikum........... 

 Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar ........ 
Takbir mengagungkan asma Allah berkumandang di seantero penjuru bumi. Masjid-masjid, mushola, bahkan di tempat-tempat umum. Anak-anak kecil dan para remaja bersorak menebar kegembiraan. Kembang api, petasan, serta beragam kegiatan lainya memeriahkan ‘lebaran’. Ya, ‘lebaran’.
Idul Fitri, lebaran bagi seluruh umat muslim di bumi Allah. Tidak terkecuali di negara kita tercinta, Indonesia. Berbondong-bondong para perantau pulang menuju rumah mereka masing-masing, untuk ‘sekedar’ merayakan ‘lebaran’ bersama sanak serta keluarga mereka.
Lihatlah, Brebes, Tegal serta banyak kota lainya yang notabene sebagai jalur pertemuan arus transportasi, mengular dipenuhi kendaraan para pemudik. Hingga 8 jam lebih mereka rela bersabar dalam kemacetan, hanya demi menumpahkan ‘kegembiraan’ telah meraih kemenangan. Atau bukan, tetapi ‘kegembiraan’ telah melewati sebulan penuh ‘terkekang’ dalam puasa.
Entahlah, hanya mereka yang tahu, dan tentu saja Allah Yang Maha Tahu. Itu urusan mereka dengan Tuhannya. Televisi menyiarkan berita arus mudik, hiruk pikuk, serta kejadian-kejadian selama ‘lebaran’.
Seorang penyiar televisi menyiarkan, “Budaya mudik tahun ini, ..........”. Ya, ‘budaya’. Atau kebiasaan. Memang itulah yang terjadi di negeri kita. Idul Fitri telah menjelma menjadi sebuah budaya, terlepas dari nilai-nilai ibadah untuk menyempurnakan kemenangan, menyempurnakan kesucian yang sebulan penuh kita perjuangkan. Budaya lebaran adalah budaya untuk pulang menuju kampung halaman masing-masing. Budaya untuk bersuka cita, atau lebih tepatnya ‘berfoya-foya’.
Lihatlah, jutaan, milyaran, -ah aku rasa bahkan mungkin triliunan rupiah berputar dalam sehari untuk perayaan ini. Merayakan ‘kemenangan’, kata mereka. Tapi ‘kemenangan’ dari apa??? Entahlah.
Idul Fitri. Ya, hari raya untuk kita, semua umat muslim di bumi Allah. Hari kemenangan, hari kelahiran baru sebagai jiwa yang suci.
Bagi mereka yang khusyuk dalam shaum dan qiyamullail-nya, tentunya merasa sedih mengingat bulan Ramadhan yang telah berlalu. Di atas sajadah itikaf mereka merenung, mengenang detik-detik yang seakan berlalu begitu cepat, dalam bulan suci nan syahdu yang hanya datang sekali dalam setahun. Makin berat rasa di dada, ketika sadar bahwa usia kita tidak menjamin untuk dapat memetik kesempatan dalam kebersamaan beribadah, dan menikmati masa-masa berkhalwat dengan Allah, dengan lebih baik lagi dari Ramadhan tahun ini.
Jika ‘lebaran’ adalah perayaan bagi mereka yang rindu kepada Allah, tentunya perayaan ‘lebaran’ akan terasa lebih khusyuk dan penuh kerendahan hati. Tidak salah memang untuk mengungkapkan rasa syukur kita atas berkah serta Rakhmat yang Allah telah limpahkan untuk kita. Akan tetapi masih ada seribu cara lain untuk kita mengungkapkannya. Dan bukan dengan jalan yang sia-sia, penuh kemubaziran, bahkan kemaksiatan dan hal-hal yang dapat menenggelamkan kita pada rasa riya, yang berarti kita telah syirik kepada Allah.
Pantaskah kita berbuat syirik setelah berjuang untuk mendapat ampunan dari-Nya agar jiwa dan hati kita kembali fitrah? Karena ‘lebaran’ bukanlah lebar (jawa-selesai) semuanya. Tetapi ‘lebaran’ adalah selesainya dosa-dosa kita, selesainya perjuangan untuk menggapai kesucian setelah dosa-dosa kita dalam setahun silam. Sehingga sudah sepantasnya kita menjaganya dari perbuatan-perbuatan yang justru dapat merusak kefitrian kita.
‘Lebaran’ bukanlah lebar-nya ibadah kita, tetapi justru awal dari perjuangan kita selanjutnya dalam menjaga serta menyempurnakan kesucian yang telah kita dapat. Jangan malah ‘lebaran’ maka lebar pula kepekaan kita pada yang lemah, pada yang papa, juga jangan malah ‘lebaran’ justru membuat kita kembali pada tabiat ‘buruk’ kita dimasa sebelum Ramadhan. Karena ‘lebaran’ adalah minal aidin wal faizin (termasuk orang-orang yang kembali dan menang). Kembali pada fitrah kesucian sebagai manusia, serta menang dari segala nafsu dan dosa. Allahu wa Rasulluhu a’lam.
Demikian, bukan bermaksud apa-apa, hanya karena rasa jiwa yang tak kuasa tuk merayakan ‘lebaran’ dengan lebih mewah.
Akhirnya di hari yang masih fitri ini, kami sekeluarga, aku “Antig Putra Pamungkas”, Ibu dan Bapakku “Tuti Tri Heningsih” dan” Nurman Tri Hasmara” (yang semoga selalu diampuni dosa-dosanya dan selalu dalam kasih Allah, layaknya mereka mengasihiku diwaktu kecil), anakku tersayang “Hafshah Callia Anindita” (yang semoga senantiasa dalam lindungan Allah, serta dicukupkan iman taqwanya, diluaskan ilmu pengetahuanya, dan dilimpahkan ikhlas dan kesabaranya oleh Allah, senantiasa mendapat curahan Rakhmat serta Kasih Allah) mengucapkan : “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 H”
“As-aluka afwan zahiran wa bathinan, taqobbalallahu minna wa minkum wa ja ‘analallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin”
Wassalamu’alaikum.........

@antigputra Jakarta, 22 April 2023

Sabtu, 01 April 2023

Prosa Perjalanan Hidupku

Kulangkahkan kaki di awal 'pagi', diatas hamparan rumput, yang dipenuhi 'embun' yang membentang, searah jalan mentari.

Kutiti jalan disamping sungai, yang tak hentinya mengirimkan pesan kepada samudra dibelakangku.
Namun, aku tak tau kemana tujuan kaki ini melangkah. Hanya ada dorongan kesana, ketika kudengar dari ayah ibuku, tentang kehidupan yang hak. Tempat kebahagiaan, kedamaian, dan cinta berada.

"Dimana?", tanyaku.
"Di sana, di depan sana," hanya itu yang kudengar.
"Bagaimana caraku mencapainya?"
"Teruslah kau melangkah, taklukan tiap jengkal rintang dalam langkahmu!"

Kucoba melihat ke depan sana, ke arah ayah ibuku menunjuk. Namun, hanya selubung kabut tebal disana. Pandanganku terbatas hamparan putih tebal.

Tetap kuteruskan langkahu, tuk menguak pekatnya kabut di depan. Kian kutapaki, semakin teranglah di sekelilingku. Namun, tetap kabur apa didepan sana. Akupun tertegun, 'kenapa hanya ruang yang kutempati yang terasa terang? Sedang di depan sana tetaplah kepekatan?'

Dengan ketidak tahuanku, tetap kutapaki tiap jengkal langkahku, di antara 'embun-embun' yang menempel di tiap lembar dedaunan. Begitu lekat, seperti enggan untuk lepas. Ia begitu jernih, menyejukkan.
Terbesit hasrat untuk mengambilnya, barang sebutir. Namu, oh.... 'embun-embun' itu berlari dari pegangannya, ketika kucoba memetik sehelai daun yang hijau. Ia masuk, meresap kedalam tanah.

Begitu sibuk dengan pikiranku, tak kusadari mentari mulai mencurahkan sinarnya untuk bumi. Tiba-tiba, 'embun-embun' itu berjatuhan. Mereka bersembunyi, berlindung ke dalam tanah. Telah lelahkah mereka berpegangan pada dedaunan yang segar itu?
'Tidak!' seruan itu yang muncul dalam benakku.
'Mereka -)embun-embun, tidak suka dengan panas mentari. Mereka tidak senang akan hiruk-pikuk yang tercipta ketika mentari mulai bangun dari tidurnya. Ya, mereka tak senang pada 'siang' hari. Siang yang panas, ramai oleh jutaan dusta. Jutaan janjin yang tiada pernah tertepati.
Ataukah, mereka takut untuk berdusta?

Jalanku kini mulai terjal, berbukit dan bertebing. Tak seindah dan sedatar pagi tadi. Aku mulai bisa merasakan hembusan angin yang sejuk, hingga sengatan mentari yang begitu menyiksa. Aku harus belajar bagaimana cara mendaki tebing yang tinggi. Akupun dihadapkan pada banyak percabangan, persimpangan, untuk kupilih, untuk kulalui hingga aku tak tersesat, agar dapat kutemukan tempat mimpi itu.
Mentari telah condong di depanku. Rasa silau mulai menampar wajahku. Jauh sudah aku melangkah. Kepenatan, lelah, dan bosan mulai hinggapi benakku. Namun dimanakah 'tempat' itu?
'Akankah kuhentikan langkahku disini? -)setelah perjuanganku selama ini? -)setelah pengorbananku sebanyak ini?
'Atau haruskah ku istirahat barang sejenak, sedangkan orang lain tetap berjalan, tetap melangkah?

'Ah....., adakah kebenaran cerita itu?'
'Adakah kebahagiaan, kedamaian dan cinta yang hakiki di muka bumi ini?'

'Dan, apabila 'sore' tlah tiba, telahkah kuberada di sana?'

Semoga,
Amin.